BAB II
A.
DASAR HUKUM AKHLAK
1.
Beberapa
dasar hukum tentang akhlak dari
Al-Qur’an dan Hadits di antaranya:
·
QS. Al-Qalam:
4
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur”. [1]
·
QS. Asy-Syu’ara: 137
“Dan kami
(sama sekali) tidak akan diazab”. [2]
·
QS. Al-Baqarah: 27
“(Yaitu)
orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu
diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan
berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi”. [3]
·
QS. Al-Ahzab: 21
“Sesungguhnya
adalah Rasulullah (Muhammad SAW.)itu menjadi suri tauladan yang baik bagimu,
yakni bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan
dia banyak mengingat Allah”. [4]
·
QS.
Al-Baqarah: 40
“Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat Ku yang telah
Ku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepada Ku. Niscaya Aku penuhi janji
Ku padamu, dan takutlah kepada Ku saja”.[5]
·
QS.
Al-Baqarah: 90
“Sangatlah buruk (perbuatan) mereka menjual dirinya, dengan mengingkari apa
yang diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Karena itulah mereka
mnanggung kemurkaan demi kemurkaan. Dan kepada orang-orang kafir (ditimpakan)
azab yang menghinakan”.[6]
1.
QS.
At-Taubah: 47
“Jika (mereka berangkat bersamamu), niscaya mereka tidak akan menambah
(kekuatan)mu, malah hanya akan membuat kekacauan, dan mereka tentu akan
bergegas maju ke depan di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan (di
barisanmu); Sedang di antara kamu ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan
(perkataan) mereka. Allah mengetahui orang-orang yang dzalim”.[7]
·
HR. Bukhari
“Setiap umatku akan masuk surge, kecuali orang
yanag menolak. Ada yang bertanya, “siapa gerangan orang yang menolak (masuk
surga) itu, wahai Rasulullah?” Belia menjawab, “Barang siapa mematuhiku, ia
masuk surga, dan barang siapa mendurhakaiku, berarti ia telah menolak (masuk
surga)”. [8]
·
HR. Muslim
“Sesungguhnya, Allah cemburu dan orang mukmin
juga cemburu. Kecemburuan Allah tersulut ketika seoarang mukmin melakukan apa
yang diharamkan Allah”. [9]
Di samping kecenderungan ini, muncul pula beragam kajian dalam bidang
akhlak dari kalangan kaum sufi mislim yang berpangkal pada upaya panggilan
inspirasi dari “cahaya” wahyu. Adapun yang paling popular dalam wacana ini
adalah kontribusi Imam al-Ghozali, terutama dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, penyusun kitab Awarif Al-Ma’arif yang
menjelaskan secara keseluruhan akhlak kaum sufi dan tata krama-tata krama
mereka yang terinspirasi dari pelita kenabian.
B.
DASAR HUKUM AJARAN TASAWUF
1.
Beberapa
dasar hukum tentang tasawuf dari
Al-Qur’an dan Hadits di antaranya:
· QS. Al-Maidah: 5
“Wahai
orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad (keluar) dari
agama-Nya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka
dan merekapun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut kepada orang yang
beriman, tetapi bersikap keras kepada orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), Allah Maha Mengetahui”.[10]
· QS. At-Tahrim: 8
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Tuhan akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam
syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata
“Ya Tuhan kami, sempunakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami;
sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[11]
· QS. An-Nur: 35
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti
sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu
di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat, yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah member petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.[12]
· QS. Ali Imran: 3
“Dia
menurunkan Kitab (AL-Qur’an) kepada mu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan
(Kitab-kitab) sebelumnya, menurunkan Taurat dan Injil [13].
·
QS.
Asy-Syura: 13
“Allah telah
mensyariatkan agama bagimu, sesuai dengan agama yang telah Dia wasiatkan kepada
Nuh as., dan apa yang kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kamu wasiatkan
kepada Ibrahim as., Musa as.dan Isa as. agar menegakkan agama dan jangan
bercerai-berai di dalamnya”.[14]
·
QS. Yunus: 57
“Hai
manusia, telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembah bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.”[15]
·
HR.Bukhari
dan Muslim: “Barang siapa yang mengada-ada
di dalam agama kami ini sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka diada-adakan
itu tertolak”. [16]
2.
Kehidupan
sahabat dan Khulafa’Urrasyidun sebagai sember ke tiga tasawuf:
·
Abu Bakar
as-Syiddiq berkata “Sejak menangani
urusan kaum muslim, kami tidak pernah makan uang sepeserpun milik mereka, akan
tetapi kami memakan makanan kasar mereka di perut kami, mengenakan pakaian
kasar mereka di badan kami. Kami sama sekali tidak memiliki harta rampasan
milik kaum muslim, baik sedikit maupun banyak”. [17]
·
Umar bin al-Khottob berkata, “Aku melihat 12 tambalan di baju Umar bin al-Khottob saat Ia
berkhutbah”. [18]
·
Utsman bin
Affan berkata, “Andai aku tidak khawatir
akan adanya lubang dalam Islam yang dapat Aku sumbat dengan harta ini,, niscaya
aku tidaqk akan mengumpulkannya”.[19]
·
Ali bin Abi
Tholib berkata, “Ia dapat mengkhushukkan
hati dan dapat diteladani orang mukmin”.[20]
3.
Pendapat dan
sikap para mazhab terhadap tasawuf:
·
Imam Hanifah
(w.150 H).
Kalangan
sejarawan cenderung menyepakati posisi Imam Hanifah dalam agama dan keagungan
statusnya dalam ranah zuhud, ibadah, dan wara’ dengan keengganannya terhadap
hal-hal yang masih syubhat.[21]
Imam Hanifah
mengatakan,”Beliau digelari al-watad (tonggak) karena banyak berdirinya dalam
shalat tahajjud.Ia tidak pernah berbuka sejak tiga puluh tahun, dan sewaktu
mengenjakan shalat lima waktu dengan satu wudhu selama empat puluh lima tahun”.[22]
Imam Hanifah
mengatakan,”Andai seorang hamba beribadah kepada Allah hingga menjadi sdeperti
sebatang galah ini, kemudian ia tidak memperdulikan apa yang masuk ke dalam
perutnya halal atau haram, maka tersebut tidak akan diterima”.[23]
·
Imam Malik
(w.179 H)
Merupakan
seorang mazhab terkemuka yang juga seorang ahli zuhud dan ibadah pada
masanya.Imam Malik berkata,”ilmu tidak diperoleh dengan banyaknya riwayat,
melainkan berkat cahaya yang diletakkan Allah swt.di dalam hati sehingga
pemiliknya bisa membedakan antara kebenaran dan kebathilan”.[24]
Ketidak
sukaan Imam Malik pada praktik perdebatan dalam masalah agama, karena
perdebatan menjauhkan pelakunya dari spirit beragama, di samping memperlebar
jurang perbedaan antara kedua belah pihak yang berseteru.Imam Malik
berkata,”apakah setiap kali ada orang yang lebih jago berdebat dari pada orang
lain, lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan jibril kepada Muhammad hanya
karena debatannya”.[25]
·
Imam
asy-Syafi’i (w.204 H)
Ia memadukan kepakaran di bidang ilmu dan fiqh
dengan kezuhudan yang tinggi dan ke-wara’-an. Di antara kezuhudan Imam
asy-Syafi’I adalah dengan Ia mengatakan, “sejak usia enam belas tahun aku tidak
pernah makan kenyang kecuali sekali kenyang yang langsung aku muntahkan saat
itu juga”.[26] Ia Juga berkata, “Jika manusia yang paling berakal diberi wasiat
untuk menyalurkan kekayaannya maka ia akan menyalurkannya pada orang-orang
zuhud”.[27] Imam asy-Syafi’I menegaskan propaganda zuhudnya dengan
mengatakan,”(Usaha) mengejar kemewahan dunia merupakan siksaan yang ditimpakan
Allah kepada ahli tauhid”.[28]
Disebutkan
juga bahwa Imam asy-Syafi’i lihai menyuarakan isu penting, misalnya:
Sifat-sifat Allah yang mutasyabih isu
qadha dan qadar, dan masalah-masalah yang tidak mampu dijelaskan oleh akal
manusia.[29]
·
Imam Ahmad
bin Hanbal (w.241 H). merupakan imam yanag diakui dalam hal kezuhudan, ibadah,
dank ke-wara’-annya. Sebagiannya bahkan mengisyaratkan beberapa momen khusu
yang menunjukkan kedekatan Imam Ahmad dengan beberapa tokoh penting dunia
tasawuf yang hidup pada masanya dan berinteraksi langsung dengannya, kemudian
dukungannya terhadap tasawuf secara umum. Deskripsi Imam as-Syafi’i mengenai
sosok Imam Ahmad, Beliau mengatakan: Ahmad adalah imam yang mumpuni pada delapan
bidang , imam di bidang hadits, di bidang fiqh, di bidang bahasa, di bidang
Al-Qur’an, di bidang perilaku kefakiran, di bidangn perilaku zuhud, di bidang
wara’, dan imam di bidang sunnah.[30] Imam Ahmad bin Hanbal juga berkomitmen menjauhi
hal-hal yang syubhat.[31]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBAHASAN AKHLAK
1.
Pengertian Akhlak
At-tahawani(w.abad
2 H),penyusun Kasysyaf Ishtilahath al-Funun
mendefinisikan ilmu ahlak dengan istilah ilmu ilmu perilaku sebagai ”Pengetahuan tentang apa yang baik
dan tidak baik”.[1]
Dengan bahasa lain, ilmu ini membahas tentang
diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya,hasrat-hasratnya dan
beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Dan
juga membahas perilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia
dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk
dan rendah.[2]
Dari
penjelasan diatas, maka saya berpendapat bahwa pengertian akhlak di sini adalah
bagaimana manusia mengatur pola hidupnya dengan adanya aturan dan pedoman dalam
islam yang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan
manusia untuk berperilaku tercela.[3]
2.
Ciri-Ciri Akhlak:
a.
Perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan sehingga telah menjadi
kepribadiannya.
b.
Perbuatan itu adalah dilakukan tanpa didahului oleh pertimbangan.
c.
Perbuatan itu timbul dari dorongan hati atau keinginan hati, bukan karena
terpaksa.
d.
Perbuatan itu dilakukan dengan sesungguhnya hati, bukan sekadar bercanda
dan kajian ilmiah.
e.
Perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas ( untuk perbutan baik).
f.
Tidak merasa bersalah atau malu setelah melakukannya, karena sudah menjadi
kebiasaan sehari-sehari.
Ada empat hal yang harus ada apabila
seseorang ingin dikatakan berakhlak.
a.
Perbuatan yang baik atau buruk.
b.
Kemampuan melakukan perbuatan.
c.
Kesadaran akan perbuatan itu
d.
Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk
3.
Ruang Lingkup Pembahasan Akhlak
a. Akhlak
Mahmudah (Terpuji)
Akhlak mahmudah adalah perbuatan
yang diizinkan oleh agama (Allah dan RasulNya). Misalnya: disiplin , hidup bersih , ramah, sopan-santun, syukur nikmat, hidup
sederhana, rendah hati, jujur, rajin, percaya diri,
kasih sayang, taat, rukun, tolong-menolong, hormat dan
patuh, sidik, amanah, tablig, Fathanah, tanggung jawab, adil, bijaksana, teguh
pendirian, dermawan, optimis, qana'ah, dan tawakal, ber-tauhiid, Ikhlash,
khauf, taubat, Ikhtiyar, shabar, syukur, tawadu', husnuzh-zhan, tasamuh dan ta'awun,
berilmu, kreatif, produktif, akhlak dalam berpakaian, berhias, perjalanan,
bertamu dan menerimatamu, adil, rida,amal salih, persatuan dan kerukunan,
akhlak terpuji dalam pergaulan remaja, serta
pengenalan tentang tasawuf.[4]
Dalam pembahasan ini kami akan
menjabarkan beberapa akhlak mahmudah yang meliputi ikhlas, sabar, syukur,
jujur, adil dan amanah.
1)
Ikhlas
Secara bahasa,
Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran.
Sedangkan secara istilah, Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam
beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.[5]
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang
sedang membersihkan beras dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar
beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu
masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat
lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat.[6]
2)
Amanah
Amanah adalah
menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu
melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun
jasa.[7]
Amanah merupakan
hak bagi penerima
amanah yang berkaitan dengan
hak orang lain untuk menunaikannya karena menyampaikan amanah kepada orang yang
berhak memilikinya adalah suatu kewajiban.[8]
3)
Adil
Adil
mempunyai banyak kandungan makna, ada yang berpendapat jika adil adalah
menyamaratakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Ada yang mengatakan, jika adil
datang disaat kita bisa meletakkan segala sesuatu dengan semestinya.[9]
Allah
melalui firman dan sunnah Rosul memerintahkan agar kita berbuat adil kepada
sesama manusia dalam setiap interaksi dengan manusia. Jangan karena kita
membenci suatu kelompok sehingga kita tidak menjadi berbuat adil. Jika kita
tidak bisa adil maka kita telah berbuat aniaya, Allah sangat melarang manusia
berbuat aniaya dan diancam oleh dosa yang besar.[10]
4)
Bersyukur
Syukur menurut kamus
"Al-mu'jamu al-Wasith" adalah mengakui adanya kenikmatan dan
menampakkannya serta memuji (atas) pemberian nikmat tersebut. Sedangkan makna syukur secara syar'i adalah: Menggunakan nikmat AllahSWT
dalam (ruang lingkup) hal-hal yang dicintainya.[11] Jadi, kesimpulannya adalah menggunakan atau memanfaatkan karuria yang
diberikan oleh Allah di dunia ini dalam hal kebaikan. [12]
Lawannya syukur adalah kufur.Yaitu
dengan cara tidak memanfaatkan nikmat tersebut, atau menggunakannya pada hal-hal yang
dibenci oleh Allah SWT. Dan akhlak tercela disebut akhlak Mazmumah.[13]
Akhlak Mazmumah (tercela) adalah
perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama (Allah dan RasulNya). Misalnya:
hidup kotor, berbicara jorok / kasar, bohong, sombong, malas, durhaka, khianat,
iri, dengki, membangkang, munafik, hasud, kikir, serakah, pesimis, putus asa,
marah,
fasik, dan murtad, kafir, syirik, riya, nifaaq,
anaaniah, putus asa, ghadlab, tamak, takabbur, hasad, dendam, giibah, fitnah , dan namiimah, aniaya dan diskriminasi,
perbuatan dosa besar (seperti mabuk-mabukan, berjudi, zina, mencuri,
mengkonsumsi narkoba), israaf , tabdzir.[14]
Contoh Sifat Mazmumah (Tercela) yaitu:
a) Penyakit hati antara lain disebabkan karena ada
perasaan iri:
Iri adalah sikap kurang senang melihat
orang lain mendapat kebaikan atau keberuntungan. Sikap ini kemudian
menimbulkan prilaku yang tidak baik terhadap orang lain, misalnya sikap tidak
ramah terhadap orang yang kepadanya kita iri atau menyebarkan isu-isu yang
tidak baik. Jika perasaan ini dibiarkan tumbuh didalam hati, maka akan
muncul perselisihan, permusuhan, pertengkaran, bahkan sampai pembunuhan, dll.[15]
b) Penyakit hati disebabkan karena perasaan dengki.
Dengki artinya merasa tidak senang
jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan berusaha agar kenikmatan tersebut
cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta merasa senang kalau orang
lain mendapat musibah. Sifat dengki ini terkait dengan sifat
iri. Hanya saja sifat dengki sudah dalam bentuk perbuatan yang berupa
kemarahan, permusuhan, menjelek-jelekkan, menjatuhkan nama baik orang lain, seperti yang
terjadi pada kisah Qabil dan Habil, putra-putra Nabi Adam a.s..[16]
c) Hasud
Hasud adalah sikap suka menghasud
dan mengadu domba terhadap sesama. Menghasud adalah tindakan yang jahat
dan menyesatkan, karena mencemarkan nama baik dan merendahkan derajat seseorang
dan juga karena mempublikasikan hal-hal jelek yang sebenarnya harus
ditutupi. Saudaraku (sidang pembaca) tahukah antum, bahwa iri, dengki dan
hasud itu adalah suatu penyakit.[17]
Awalnya iri yaitu perasaan tidak
suka terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Kemudian, jika
dibiarkan tumbuh, iri hati akan berubah menjadi kedengkian. Penyakit
kedengkian jika dibiarkan terus akan berubah menjadi penyakit yang lebih buruk
lagi, yaitu hasud.[18]
Dalam konteks pembahasan Akhlak
itu, maka akhlak dapat di bagi ke 3 (tiga) bagian yaitu:[19]
1)
Akhlak kepada Allah SWT
Akhlak kepada Allah adalah perbuatan-Nya langsung terhadap
Allah SWT.[20]
2)
Akhlak kepada MakhlukNya
Akhlak kepada Makhluk-Nya adalah perbuatannya terhadap
makhluk Allah, seperti Malaikat, Jin, Manusia, Hewan, dan tumbuhan.[21]
3)
Akhlak kepada Lingkungan
Akhlak kepada lingkungan adalah
perbuatan Nya terhadap lingkungan (semesta alam), seperti: tanaman, air (laut,
sungai, danau), gunung, dan sebagainya.[22]
4.
Manfaat Mempelajari Ilmu Akhlak
Ø Membersihkan kalbu
dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[23]
Ø Memiliki
pengetahuan tentang kriteria perbuatan baik dan buruk.[24]
Ø Membersihkan diri
manusia dari perbuatan dosa dan maksiat.[25]
Ø Menetapkan
perbuatan sebagai perbuatan baik dan buruk.[26]
B.
PEMBAHASAN ILMU TASAWUF
1.
Pengertian
Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah
yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun
Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah
(ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekah ke
madinah), saf (barisan),sufi (suci), sophos (bahasa
Yunani: Hikmat), dan suf (kain wol).[27] Sedangkan Tasawuf adalah nama lain dari
“Mistisisme dalam islam”. Di kalangan paham barat dikenal dengan sebutan
“Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan istilah khusus mistisisme islam. Sehingga
kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.[28]
Pengertian
tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut
pandang yang mendevinisikannya masing-masing. Sebatas ini ada tiga sudut pandang yang kami gunakan
untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk
terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai
makhluk yang berTuhan.[29] Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai
makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat kami definisikan sebagai upaya mensucikan
diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian
hanya kepada Allah SWT.[30]
Selanjutnya
jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus
berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan
akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT.[31] Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai
makhluk yang bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran
fitrah (ketuhanan) yang hanya mengarahkan jiwa agar tertuju kepada
kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dangan Tuhan.[32]
Jika
tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka
segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata
lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental
rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.[33]
2. Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal
ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang
dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian
ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya. Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam islam”. Di kalangan paham barat
dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan istilah khusus
mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme agama-agama
lain.Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang
mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahaduniawi). Tujuan tasawuf
untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan
benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang
diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum
memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi. Dengan pemikiran di atas, dapat
dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari
suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT
(Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu
hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.[34]
Dengan
demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah
hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara
langsung dari Tuhan.[35]
BAB IV
KESIMPULAN
Akhlak merupakan kegiatan dan perilaku manusia yang mengatur pola
hidupnya dengan adanya aturan dan pedoman dalam islam yang memerintahkan
manusia untuk berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan manusia untuk
berperilaku tercela atau merusak keadaan yang baik.
Tasawuf merupakan pengetahuan
yang berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak
berurusan dengan dimensi esoterik (batin) dari manusia. Dan ruang lingkup ilmu
tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus secara langsung dari Tuhan.
Pada hubungannya, antara Akhlak
dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur
hubungan horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan
komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, Akhlak menjadi
dasar dari pelaksanaan tasawuf, dan sehingga dalam prakteknya tasawuf
mementingkan akhlak.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Muhammad Fauzi Hajjaj, Tasawuf Islam &
Akhlak, Amzah, 2011 M
Al-Qur’anul Kariem
Riyadh as-Shalihin
An-Nawawi, Syarh Nawawi ‘Ala
Shahih Muslim,
Ibn Sa’ad, Tabaqat al-Kubra, 1376 H
Al-Munawi, ath-Thabaqat al-Kubra, 1938 M
Asy-Sya’rani, at-Thabaqat al-Kubra, Shubaih
Ath-Thusi, Abu Nashr, al-Luma’, 1960
Al-Kawakib,
Abu Nu’aim, Hilyah al-Aulia
Abu al-Husain bin Abi Ya’la, Thabaqat al-Hanabillah, (T.t.t.:Sunnah
al-Muhammadiyah,1371 H)
At-tahawani, Kasysyaf Ishtilahath al-Funun
Google
No comments:
Post a Comment