Tugas Individu
Fiqh Kontemporer
Disusun oleh :
M.H Ainun
Najib 13101603
AHS
Sekolah Tinggi
Agama Islma Negri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung
BAB II
Pembahasan
Definisi shalat jama’
Definisi
jama’ secara etimologi adalah
kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan definisi shalat jama’ menurut istilah syara’ adalah menggabungkan dua
shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim
(pada waktu awal) atau takhir
(pada waktu kedua atau akhir).[1]
Hukum shalat jama’
Menurut
pendapat dari Empat Mazhab besar,hukum melaksanakan shalat jama’ ialah sebagai
berikut:
·
Pendapat Mazhab Syafi'i
Syafi'i
meyakini diperbolehkannya pelaksanaan menjama' shalat bagi para musafir
perjalanan jauh dan dalam kondisi tertentu. Bagi mereka, pelaksanaan menjama'
shalat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau
sakit.
·
Pendapat Mazhab Hanafi
Hanafi
meyakini bahwa pelaksanaan menjama' shalat tidaklah memiliki kekuatan hukum,
baik dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala macam masalah kecuali dalam
dua kasus. Yaitu hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai
kondisi tertentu.
·
Pendapat Mazhab Maliki
Maliki
menganggap alasan untuk melaksanakan menjama' shalat bila dalam keadaan sakit,
hujan, berlumpur, keadaan gelap pada akhir bulan purnama dan pada hari Arafah
serta malam Muzdalifah untuk yang sedang melaksanakan haji dalam kondisi
tertentu.
·
Pendapat Mazhab Hambali
Hambali
memperbolehkan pelaksanaan menjama' shalat saat hari Arafah dan malam
Muzdalifah dan bagi para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan
haid berlebihan, orang yang terus-menerus buang air kecil, orang yang tidak
dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu,
dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau
reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur.
Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.
Dan diperbolehkannya melakukan shalat jama’ juga
diperkuat berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas ia berkata: “Rasulullah SAW menjama’ antara
Shalat Zhuhur dengan Ashar jika dalam perjalanan, dan menjama’ Shalat Maghrib
dengan Isya.[2]
Macam-macam shalat jama’
Cara
melakukan shalat jama’ dibagi menjadi 2 yakni :
1. Jama’
taqdim
Jama’
Taqdim yaitu menggabungkan shalat dzuhur
dengan shalat ashar yang dilakukan di waktu dzuhur atau menggabungkan shalat
maghrib dan isya’ yang dilakukan di waktu maghrib.
Dari
Mu’az, “ Bahwasannya Nabi saw.dalam perang tabuk, apabila beliau berangkat
sebelum tergelincir matahari, beliau takhir-kan dzuhur sehingga beliau
kumpulkan ke ashar, beliau shalat untuk keduanya (dzuhur dan ashar), dan
apabila beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, beliau kerjakan shalat
dzuhur dan ashar sekaligus, kemudian beliau berjalan. Apabila beliau berangkat
sebelum maghrib, beliau takhir-kan maghrib hingga beliau lakukan shalat maghrib
beserta isya’, dan apabila beliau berangkat sesudah waktu maghrib, beliau
segerakan isya’, dan beliau shalatkan isya’ beserta maghrib.[3]
Syarat
jama’ taqdim:
·
Tertib. Apabila mufasir akan melakukan
shalat jama’ dengan jama’ taqdim, maka dia harus mendahulukan shalat yang punya
waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjama’ shalat dzuhur dengan
ashar, maka dia harus mengerjakan shalat dzuhur terlebih dahulu. Apabila yang
dikerjakan adalah shalat ashar dahulu, maka shalat ashar nya tidak sah. Dan
apabila ia masih mau menjama’shalat nya, maka ia harus mengulangi shalat ashar
nya setelah shalat dzuhur.
·
Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama.
Apabila musafir mau melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdim, maka diharuskan
niat jama’ pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama, dan lebih baik niat
menjama’ dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
·
Bersegera. Antara kedua shalat tidak ada
selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam menjama’ shalat terdapat selang
waktu yang dianggap lama, missal seperti melakukan shalat Sunnah, maka mushali
tidak dapat melakukan jama’ danharus mengakhiri shalat yang kedua serta mengerjakannya
pada waktu yang semestinya.
·
Masih berstatus musafir sampai selesainya
shalat yang kedua. Apabila sebelum melaksakan shalat yang kedua ada niat muqim,
maka mushal itu tidak boleh melakukan jama’, sebab udzur nya dianggap habis dan
harus mengakhiri shalat yang kedua pada waktunya.
2. Jama’
takhir
Jama‟
Takhir adalah menggabungkan antara dua shalat dengan mengerjakannya pada waktu
kedua. Seperti menggabungkan shalat dzuhur dengan ashar, dan dikerjakan pada
waktushalat ashar.
Syarat
jama’ takhir :
·
Niat menjama’ takhir pada waktu shalat
yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat dzuhur telah tiba, maka ia berniat
akan melaksanakan shalat dzuhur tersebut pada waktu ashar.
·
Pada saat datangnya waktu shalat kedua, ia
masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat
dzuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba dan ia masih berada dalam
perjalanan. Dalam jama’ takhir, shalat yang dijama’ boleh dikerjakan tidak
menurut urutan waktunya. Misalnya shalat dzuhur dan ashar, boleh dikerjakan
zhruh dahuluatau ashar dahulu. Disamping itu antara shalat yang pertama dan
kedua tidak perlu berturut-turut. Jadi boleh diselingi dengan perbuatan lain,
misalnya shalat Sunnah hajat.[4]
Hukum menjama’ shalat
karena ada kepentingan
Sesungguhnya, menjama’ dua sholat baik diakhirkan
maupun diawalkan waktunya, telah ditetapkan keabsahannya dalam Islam. Namun
demikian, menjama’ sholat diperkenankan ketika ada sebab-sebab yang
membolehkannya. Adapun sebab-sebab yang membolehkan seseorang menjama’
sholatnya adalah; hari ‘Arafah di ‘Arafah, dan malam Muzdalifah di Muzdalifah;
safar, dan hujan. Selain tiga sebab ini, seorang muslim tidak diperkenankan
sama sekali melakukan jama’ sholat (penggabungan dua sholat).Jama’ Karena
Safar. Bolehnya jama’ dalam safar telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang
sharih.
Imam Ahmad dan Imam Syafi’i dalam Musnadnya
menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya ia berkata:
“Apakah tidak lebih baik saya kabarkan kepadamu tentang Sholat Rasulullah
Saw dalam safar?” Kami menjawab, “Baik sekali.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah
Nabi Saw apabila telah tergelincir matahari sedang beliau Saw masih di rumah
(di tempat beliau singgah) beliau kumpulkan antara Dzuhur dan ‘Ashar sebelum
beliau berangkat, dan apabila matahari telah tergelincir, waktu beliau masih di
rumah, beliaupun terus berangkat hingga apabila telah datang waktu ‘Ashar,
beliaupun berhenti, menjama’kan antara Dzuhur dan ‘Ashar. Dan apabila datang
waktu Maghrib, sedang beliau belum berangkat, beliau mengumpulka antara Maghrib
dan ‘Isya’. Apabila belum datang waktu Maghrib beliaupun terus berangkat dan
pada waktu ‘Isya’ beliau berhenti lalu beliau mengumpulkan antara keduanya.”.
Imam Malik meriwayatkan dari Mu’adz, bahwasanya
Nabi Saw mentaakhirkan sholat Dhuhur dan ‘Ashar (menggabungkan sholat Dhuhur
dan ‘Ashar di waktu ‘Ashar), kemudian beliau masuk, kemudian beliau keluar lagi
dan mengerjakan sholat Maghrib dan ‘Isya’ bersama-sama. Imam Syafi’i
mengatakan, “yang dimaksud beliau masuk dan keluar lagi’ adalah, pada saat itu
beliau sedang berada dalam pemberhentian.”Imam Muslim juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah Saw mengerjakan sholat
Dhuhur dan ‘Ashar beriringan; Maghrib dan ‘Isya; beriringan.
Hadits-hadits ini menunjukkan dengan sharih, bahwa safar merupakan kondisi
yang membolehkan jama’.
Jama’ Karena Hujan. Pada dasarnya, hujan merupakan
salah satu sebab dibolehkannya seseorang menjama’ sholat. Dalam Sunannya,
al-Atsram meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Salamah bin Abdurrahman,
bahwasanya ia berkata, “Termasuk sunnah Nabi Saw adalah menjama’ sholat Maghrib
dengan ‘Isya’, apabila hari hujan lebat.”
Imam Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat:
“Nabi Saw menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya’ di satu malam pada saat hujan
lebat.”.
Para ulama telah menyepakati diperbolehkannya menjama’ sholat ketika turun
hujan lebat. Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam merinci masalah ini.
Madzhab Syafi’i membolehkan seorang mukmin
menjama’ sholat Dzuhur dengan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’ secara taqdim saja
(jama’ taqdim); dengan syarat hujan turun tatkala ia sedang membaca takbiratul
ihram dalam sholat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika ia
membaca takbiratul ihram dalam sholat yang kedua.
Madzhab Malikiy berpendapat, bahwa seorang mukmin
boleh menjama’ taqdim sholat Magrib dan ‘Isya’ di dalam masjid, disebabkan
karena hujan telah atau akan turun. Menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya’ juga
boleh dilakukan jika jalanan banyak lumpur dan malam sangatlah gelap hingga
menyulitkan pandangan seseorang. Sedangkan, menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar
dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.
Madzhab Hanbali berpendapat, bahwa sholat Maghrib
dan ‘Isya’ saja yang boleh dijama’, baik dengan jama’ taqdim maupun ta’khir,
disebabkan karena hujan, salju, lumpur, udara yang sangat dingin. Menurut
Madzhab Hambali, keringanan ini hanya berlaku bagi mereka yang sedang
berjama’ah di masjid, dan datang dari tempat yang jauh, hingga dengan hujan
tersebut perjalanannya terhalang. Bagi orang yang rumahnya dekat dengan masjid
atau yang sholat berjama’ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke masjid dengan
melindungi tubuhnya, maka ia tidak boleh menjama’.
Jama’ Karena Berada Di ‘Arafah dan Muzdalifah.
Para ulama telah bersepakat bahwa menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar di ‘Arafah
dengan jama’ taqdim di waktu Dzuhur; dan antara Maghrib dan ‘Isya’, dengan
jama’ ta’khir di Muzdalifah adalah sunnah. Sebab, Rasulullah Saw melakukan
telah melakukan hal ini.[5]
Jama’ selain sebab-sebab di atas diharamkan secara
mutlak. Memang, ada sebagian ‘ulama yang membolehkan jama’ karena hajah
(keperluan, misalnya bekerja, walimah, dan lain sebagainya). Mereka menyatakan,
bahwa sunnah telah menetapkan bolehnya seorang muslim menjama’ sholat bukan
karena hujan, safar, maupun berada di ‘Arafah dan Muzdalifah; akan tetapi
karena ada keperluan (hajat). Namun, pendapat ini lemah, dan tidak boleh
diikuti.
Riwayat-riwayat yang menyatakan Nabi Saw pernah
menjama’ sholat karena hajah bersumber dari shahabat Ibnu ‘Abbas ra dan Ibnu
Mas’ud ra. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas dituturkan, bahwasanya Nabi
Saw menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar, dan antara Maghrib dan ‘Isya’ di
Madinah, bukan karena ada ketakutan, maupun hujan. Dari Ibnu Mas’ud ra
diriwayatkan, bahwasanya, Nabi Saw pernah menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar,
dan sholat Maghrib dengan ‘Isya’. Kemudian, para shahabat bertanya kepada
beliau, mengenai hal itu. Beliau Saw menjawab, “Saya melakukan hal itu agar
tidak memberatkan umatku.”
Masih banyak riwayat lain yang senada dengan riwayat-riwayat
di atas. Pendapat semacam ini dipegang oleh al-Mundziri. Imam an-Nawawi
mengatakan, “Sebagian ulama membolehkan jama’ karena hajah, asalkan tidak
dijadikan kebiasaan.” Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Boleh jama’ bagi
tukang masak, tukang roti, dan orang-orang yang takut rusak hartanya kalau ia
pergi mengerjakan sholat.” Masih menurut Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah,
“Madzhab yang paling luas mengenai masalah jama’ ini adalah madzhab Imam Ahmad.
Beliau membolehkan jama’ bagi orang yang ada pekerjaan, seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Nasa’i.”
Sesungguhnya, pendapat yang membolehkan jama’
karena ada hajah adalah pendapat lemah dan bertentangan dengan nash-nash
qath’i. Pendapat itu harus ditolak karena sebab-sebab berikut ini.
Secara dirayah, hadits-hadits yang berbicara
tentang bolehnya jama’ datang dalam bentuk muthlaq tanpa ada batasan (qayyid)
hujan, dan safar. Kemuthlakan riwayat-riwayat ini bertentangan dengan makna
al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir yang juga datang dalam bentuk muthlaq.
Dalam keadaan seperti ini, maka dalil-dalil tersebut dianggap bertentangan.
Oleh karena itu, hadits-hadits yang berbicara mengenai jama’ karena hajah,
harus ditolak; sebab, maknanya bertentangan dengan nash-nash mutawatir.
Hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ karena hajah adalah hadits ahad yang
dari sisi tsubut masih dzanniya. Jika hadits ahad bertentangan dengan
dalil-dalil mutawatir, maka hadits ahad tersebut harus dikalahkan, alias
ditolak dari sisi dirayah. Telah ditetapkan secara mutawatir waktu-waktu
sholat, serta kewajiban menjaga waktu-waktu tersebut dalam. Tidak diperkenankan
meninggalkan waktu-waktu yang diwajibkan tersebut (waqt al-maktubah) dengan
jama’ taqdim ataupun jama’ ta’khir karena mengamalkan khabar ahad yang bertentangan
dengan nash-nash mutawatir tersebut. Sebab, perbuatan tersebut terkategori
meninggalkan yang qath’i dan beramal dengan yang dzanniy; dan ini tentu saja
tidak boleh.
Tidak bisa dinyatakan, bahwa hajah (keperluan) dan
‘udzur adalah takhshish seperti halnya hujan dan safar. Tidak dinyatakan
seperti itu, sebab hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ li al-hajah
(jama’ karena keperluan) datang dalam bentuk muthlaq, sedangkan nash-nash
mutawatir (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang berbicara tentang waktu-waktu sholat
juga dalam bentuk muthlaq. Dalam keadaan semacam ini, maka kompromi yang mesti
dilakukan adalah menolak hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ li al-hajah
secara dirayah.
Tidak bisa juga dinyatakan, bahwa jama’ li
al-hajah boleh dilakukan kalau tidak dijadikan kebiasaan. Sebab, taqyid
(batasan) semacam ini tidak tersebut di dalam hadits tersebut; dan
hadits-hadits tentang jama’ li al-hajah semuanya datang dalam muthlaq tanpa ada
batasan (taqyid).
Walhasil, jika seseorang melakukan jama’, baik
taqdim maupun ta’khir bukan karena berada di ‘Arafah dan Muzdalifah, safar, dan
hujan; karena hajah (bekerja, memasak, menggendong anak dan sebagainya) maka
sholatnya tidak sah.
Berikut ini nash-nash yang mencela siapa saja yang menta’khirkan sholat,
karena urusan-urusan harta, anak atau karena ada hajat (keperluan). Allah SWT
berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh
harta-hartamu dan oleh anak-anakmu dari menyebut Allah. Barangsiap aberlaku
demikian, maka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqûn [63]: 63).
“Maka mereka tinggalkan di belakang mereka suatu keturunan yang
menyia-nyiakan sholat dan mengikuti syahwat; mereka kelak akan menjumpai
malapetaka.” (Qs. Maryam [19]: 59).
Menurut Ibnu Mas’ud ra, makna ayat ini adalah,
“Menta’khirkan sholat dari waktunya, seperti mengerjakan Dzuhur setelah tiba
waktu ‘Ashar, mengerjakan ‘Ashar setelah tiba waktu Maghrib. Jika seperti itu,
maka orang tersebut kelak akan masuk ke dalam ‘ghaiy’, suatu tali yang terjulur
di dalam neraka Jahannam.”
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang
lalai dari sholatnya.” (Qs. Al-Ma’un [107]: 4-5).
Banyak hadits juga menerangkan celaan bagi orang-orang yang melalaikan, dan
sembrono dalam sholatnya. Imam ath-Thabarani menuturkan sebuah hadits,
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila seorang hamba mengerjakan sholat bukan pada waktunya, naiklah ia
lengit sebagai benda yang hitam pekat. Apabila ia telah sampai ke langit,
dilipatlah sholat itu sebagaimana dilipatnya kain buruk dan kelak akan
dipukulkan ke muka orang yang mengerjakannya.”.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits:
“Akan datang kepada manusia (ummat Muhammad Saw) suatu masa, dimana di
dalam masa itu banyaklah orang yang merasa dirinya mengerjakan sholat, padahal
sebenarnya ia tidak sedang mengerjakan sholat.”.
Masih banyak lagi hadits-hadits muthlaq, yang
mencela siapa saja yang menyia-nyiakan sholatnya, mengerjakan sholat tidak pada
waktunya, atau menjama’ sholat bukan karena alasan-alasan yang disyariatkan
oleh Islam. Walhasil, jika kita menerima hadits-hadits tentang bolehnya jama’
karena hajah, sungguh akan berakibat pada ditolaknya nash-nash yang telah
mutawatir (qath’i). Oleh karena itu, matan hadits yang berbicara tentang jama’
li al-hajah wajib ditolak, untuk menyelamatkan khabar dari pertentangan.[6]
Menurut penjelasan diatas syaikh
sayis, menjama’ shalat karena hajat diperbolehkan karena ia juga memakai hadist
fari ibnu abbas bahwa Nabi saw, shalat di Madinah delapan rakaat dan tujuh
rakaat, yaitu dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’.
Dan menurut lafadz riwayat jama’ah
kecuali Bukhari dan ibnu majah: “Beliau menjamak antara dzuhur dan ashar, antara maghrib dan isya’ di
Madinah tanpa ketakutan dan tanpa hujan. Orang bertanya kepada Ibnu
Abbas: apakah yang beliau maksudkan dengan itu ?” Ibnu Abbas menjawab : “beliau
bermaksud untuk tidak menyukarkan kepada umatnya.”[7]
Menurut
Fathul Bari hadist yang menjadi
dalil ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nas’i dari jalan Amer bin Harun
dari Abi Sya’sa’ bahwa Ibnu Abbas di Bashrah pernah shalat dzuhur dan ashar
tanpa berselang, ini dilakukan karena ada kesibukan. Pada hadist itu ada Rafa’ kepada Nabi saw dan kesibukan
Ibnu Abbas saat itu adalah berpidato.[8]
Diperbolehkan
bagi seorang yang mukim untuk menjama’ shalat karena adanya suatu kebutuhan
yang datang tiba-tiba dan mendesak, dengan syarat tidak dijadikan sebagai
kebiasaan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; ”Rasulullah SAW menjama’
antara dzuhur dan ashar di Madinah, padahal beliau tidak berada dalam keadaan
takut dan tidak pula sedang safar.” Abu Zubair bertanya kepada Sa’id, “Untuk apa
beliau melakukan hal itu?” Sa’id menjawab, “Aku telah menanyakan kepada Ibnu, Abbas
sebagaimana pertanyaanmu kepadaku. Maka Ibnu ‘Abbas menjawab, ”Agar tidak
memberatkan seorangpun dari umatnya.”[9]
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, ”Rasulullah SAW
pernah menjama’ shalat dzuhur dan ashar
serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula
karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya
pada Ibnu abbas mengapa rasulullah SAW melakukan seperti itu (menjama’
shalat)?” Ibnu abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak
memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada
Ibnu abbas, ”Apa yang Nabi SAW inginkan dengan melakukan seperti itu
(menjama’ shalat)?” Ibnu abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan
umatnya.”[10]
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menjelaskan mengenai, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu mereka mengalami kesulitan,
misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh jauh sekali dari tempat
shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk bersuci, maka nanti
akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya mereka jalanin. Dalam kondisi
semacam ini, mereka boleh menjama’ shalat. Lebih baik mereka mengerjakan shalat
dzuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ashar. Nantinya mereka menjama’
shalat dhuhur dan ashar, shalat Zhuhur dijama’ dengan dikerjakan di akhir
waktu, sedangkan shalat asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi,
mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang
tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya
masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ seperti tadi dan
tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih utama.[11]
Imam Nawawi menyetujui hadist yang, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi
mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan
catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat
demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu
Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di
atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak
menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[12]
Bagaimana menjama shalat ketika dalam perjalanan.
misalnya ana sedang safar dari sebelum dzuhur,lalu tiba di tempat tujuan pada
waktu maghrib/isya. dan saat perjalanan tidak memungkinkan untuk berhenti
ketika tiba waktu shalat.Apakah dzuhur dan ashar ana kerjakan pada waktu
maghrib/isya? atau bagaimana?
Memang tidak memungkinkan turun dari kendaraan sama
sekali? Jika memang terpaksa tidak bisa turun dan melaksanakan shalat misalkan
dalam pesawat maka boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk. Meski sebenarnya
kalau di pesawat, kita bisa mencari tempat yg agak dipojok yang sebenarnya
cukup untuk dipakai solat berdiri.
Jadi solusinya..klau memang tidak memungkinkan turun atau tidak memungkinkan solat berdiri,maka lakukanlah solat dengan duduk di atas kursi kendaraan[13]
Jadi solusinya..klau memang tidak memungkinkan turun atau tidak memungkinkan solat berdiri,maka lakukanlah solat dengan duduk di atas kursi kendaraan[13]
Bolehkah saya memakai hadits shohih muslim, juz 1 no. 1146,
1147 dan 1151 pada saat-saat saya sibuk atau yang saya perkirakan bakalan sibuk
nantinya sehingga saya lakukan sholat jama' tersebut?
Memang benar bahwa ada hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW pernah melakukan shalat jama’ di Madinah, bukan karena safar,
takut atau hujan. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim
yang teksnya sebagai berikut : Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW menjama' Shalat Zhuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun
hujan.” Dari segi sanad hadits itu memang shahih. Tetapi yang jadi
masalah adalah dari segi istidlal atau cara menarik kesimpulannya dari segi
hukum. Sebagaimana kita tahu, bahwa keshahihan hadits adalah satu hal dan cara
menarik kesimpulan hukum adalah hal yang lain. kalau hadits di atas disimpulkan
secara serampangan bahwa kapan saja kita boleh meninggalkan shalat, toh
cuma tinggal dijamak saja, maka kesimpulan ini tentu keliru, sesat dan
menyesatkan. Masak cuma gara-gara sibuk, rapat, meeting, atau alasan-alasan
sederhana, lalu kita merasa boleh meninggalkan shalat atau menjamaknya, dengan
alasan Rasulullah SAW menjamak shalat tanpa sebab? Kenapa keliru dan sesat? Ada
beberapa alasan yang menyebabkan kita menyebut pemahaman ini sesat dan
menyesatkan. Alasan-alasan itu antara lain adalah :
Alasan Pertama
ciri yang mudah dikenali terkait perbedaan orang beriman dan
orang munafik adalah malas mengerjakan shalat. Orang munafik itu bukan orang
kafir yang memang benar-benar tidak mengerjakan shalat. Orang munafik itu kalau
mengerjakan shalat, maka dikerjakanlah shalat itu dengan malas, ogah-ogahan dan
menundanya hingga lewat waktunya. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasulnya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas dan tidak menafkahkan mereka, melainkan dengan rasa enggan.(QS. At-TAubah : 54)
Alasan Kedua
Shalat lima waktu juga membedakan antara seorang muslim
dengan orang yang kafir. Shalat lima waktu juga merupakan bagian dari rukun
Islam. Perbedaan shalat lima waktu
dengan shalat-shalat lainnya adalah bahwa shalat lima waktu adalah ibadah yang
sudah ditetapkan waktunya dan pelaksanaannya amat ketat. shalat lima waktu
berbeda dengan shalat sunnah, yang boleh dikerjakan seenaknya. Kalau lagi
sibuk, shalat sunnah boleh digeser-geser pelaksanannya. Bahkan tidak shalat
sunnah pun tidak mengapa, karena hukumnya sunnah. Kalau pun shalat lima waktu
mau digeser-geser jadwal pelaksanaannya, memang dibenarkan tetapi dengan alasan
yang ketat dan harus dengan dalil yang shahih.
Dan dan orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur yang
betul-betul syar'i dan didasarkan pada dalil-dalil yang qath'i, bukan hanya
sekedar berdosa besar, bahkan sebagian ulama menghukumi kafir.
Alasan Ketiga
Alasan Ketiga
Safar, takut dan hujan adalah sebab-sebab dibolehkannya
meninggalkan shalat pada waktunya dan melakukannya dengan menjamaknya.
Sebab-sebab ini secara syar'i memang disebutkan secara ekpisit dan didasari
oleh hadits yang shahih. Sedangkan rapat dan kesibukan lainnya seperti yang
anda sebutkan di atas, sama sekali tidak pernah disebutkan secara eksplisit di
dalam hadits yang shahih. Oleh karena itu tidak benar bahwa sekedar alasan
rapat kita jadi dibolehkan menjamak shalat. Kalau memang demikian, siapa saja
nanti akan merasa berhak mencari-cari alasan pribadi untuk bisa meninggalkan
shalat. pada waktunya dan menggantinya dengan jamak. Cuma karena main bola lalu
shalat dijamak. Cuma karena kondangan dan pesta resepsi, lalu shalat dijamak.
Cuma karena macet lalu shalat dijamak. Kalau
begitu, tiap hari kita bisa asal main jamak-jamak terus, karena berdalih bahwa
Rasulullah SAW pernah menjamak bukan karena safar, hujan atau takut. Dan logika
ini tentu keliru dan menyesatkan sekali.
Alasan Keempat
Alasan Keempat
Tentu ini pemahaman ini keliru sehingga perlu diluruskan.
Cara menarik kesimpulannya juga tidak benar, karena hadits di atas tidak
menyebutkan alasan meeting, rapat, sibuk bisnis, resepsi, macet dan sejenisnya
sebagai hal yang membolehkan kita menjamak shalat. Tidak ada satupun dari
alasan-alasan di atas yang disebutkan secara eksplisit. Maka kalau disebutkan
bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat bukan karena alasan safar, takut
atau hujan, tidak berarti lantas kita boleh menambahi sendiri daftar udzur atau
alasan sesuai dengan selera kita. Kalau cara demikian, maka yang kita lakukan
sama saja dengan mengisi sendiri cek kosong dengan sekehendak hati kita. Hadits
di atas hanya menyebutkan bahwa bukan hanya safar, takut dan hujan saja yang
bisa dijadikan alasan, ada peluang alasan lainnya. Tetapi alasan itu apa dan
bagaimana? Tentu tidak seenak kita bikin-bikin sendiri alasan itu.
Daftar Penyebab Dibolehkannya Jamak
Daftar Penyebab Dibolehkannya Jamak
Cara ulama dalam banyak kita mereka telah merumuskan beberapa
penyebab dibolehkannya shalat jama',antara lain : Safar, Haji, Sakit, Hujan,
Kejadian luar biasa namun
shalat jama' karena terjadi di luar hal-hal yang tidak mampu diantisipasi tidak
boleh dilakukan kecuali dengan syarat
a. Terjadi Secara Insidental
Seseorang tidak boleh merencanakan untuk menjama' shalat
dengan alasan terjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali dengan
menjama', namun dilakukannya secara terencana. Kejadiannya harus bersifat di
luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada
diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab
(perang Khandaq). Beliau saat itu menjama' shalat yang tertinggal setelah lewat
tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat
bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah. Namun kejadian itu boleh dibilang
hanya sesekali saja, bukan sesuatu yang bersifat rutin. Dan tentu saja tidak
pernah direncanakan terlebih dahulu.
b. Kejadiannya Bersifat Memaksa
Syarat kedua adalah bersifat memaksa, yang tidak ada
alternatif lain kecuali harus menjama'. Sifat memaksa disini bukan disebabkan
karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta
pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar.
Sebab rapat itu hanya buatan manusia, demikian juga pesta
pernikahan atau kemacetan rutin. Semua tidak termasuk hal yang bersifat memaksa
yang membolehkan orang menjama' shalat.
Yang bisa dikategorikan memaksa misalnya kejadian force
majeure, yang dalam Bahasa Indonesia sebagian orang mengartikannya sebagai
kejadian luar biasa (KLB). termasuk di dalamnya adalah kejadian–kejadian
seperti perang, demo anarkis, huru-hara, bencana alam, kecelakaan, banjir
bandang, topan badai dan sejenisnya.
Demonstrasi atau unjuk raja yang tertib dan dilakukan
beberapa gelintir orang secara yang damai, bukan termasuk force majeure.
Demikian juga banjir dan air menggenang yang sudah jadi langganan penduduk
ibukota, tidak termasuk di dalamnya.
Tsunami
di Aceh dan Mentawai, banjir bandang di Wasior Papua, gampa di Padang dan
Yogya, erupsi Gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah, serta terjebak di tengah
kerusuhan massal tahun 1998 adalah contoh-contoh yang bisa dijadikan bahan perbandingan
dari force majeur.[14]
Hukum terakhir
dari kasus-kasus diatas yaitu jika hampir setiap jumat ada seseorang pulang
kampung setelah sholat jumat di kantor. pertanyaan ialah bolehkah sholat ashar
orang itu melakukan shalat jama’ setelah sholat jumat karena pasti tidak keburu
untuk dikerjakan di rumah ? jawabannya
ialah Seseorang dibolehkan menjamak sholat Jum'at dengan 'Ashar jika memang dia
dalam perjalanan, dengan syarat bahwa sholat Jum'atnya dikerjakan setelah waktu
Dzuhur masuk. Adapun caranya adalah setelah selesai sholat Jum'at bersama imam,
maka dia berdiri mengumandangkan iqamah dan dilanjutkan dengan sholat 'Ashar
dua reka'at.[15]
Bila seseorang
terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain
menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh
dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang digunakan adalah dalil
umum seperti yang sudah disebutkan diatas. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam
agama ini kesulitan.” Dan hadist dari Ibnu Abbas ra juga mengatakan bahwa,
“beliau SAW tidak ingin memberatkan ummatnya.” Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah
SAW pernah menjama` dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak
dalam keadaan takut maupun hujan.” Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab
Asy-Syafi`iyyah mengatakan, ”Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama`
shalat saat mukim karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[16]
[2] HR.
Bukhari Juz 1 : 1056
[4]
Diakses dari http://www.masuk-islam.com/penjelasan-lengkap-mengenai-sholat-jamak.html
[6] Syamsuddin Ramadhan Konsultasi
Syariah dikutip dari https://web.facebook.com/konsultasisyariahbengkulu/posts/465957276803642?_rdr
[7]
Syaltut Mahmud, Syaikh As-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta
: Bulan Bintang, 1989, hlm. 87
[8]
Syaltut Mahmud, Ali As-Sayis,Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta:
Bulan Bintang, 2005, hlm. 56
[9] HR. Abu Dawud : 1210
[13] Herman
Budianto Rekapan materi fiqih 3
dikutip dari
http://rumahdakwah-indonesia.blogspot.co.id/2015/04/fiqih-shalat-jama-dan-qashar.html
[14] Ahmad Sarwat, Konsultasi seputar jama’ dan qashar dikutip dari
http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1362763331
[15] http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/234/sholat-jama-dan-qashar/
[16]
Al-Imam An-Nawawi Syarah An-Nawawi jilid 5 hlm: 219 dikutip dari http://beritaislamimasakini.com/hukum-menjama-shalat-di-kantor-dan-ketiduran.htm
No comments:
Post a Comment