Sunday, April 17, 2016

Shalat jama' karena ada kepentingan(hajat)




Tugas Individu
Fiqh Kontemporer
“Hukum Shalat Jama’ Karena Ada Kepentingan”






Disusun oleh :
M.H Ainun Najib      13101603
AHS


Sekolah Tinggi Agama Islma Negri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung








BAB II

Pembahasan





Definisi shalat jama’

Definisi jama’ secara etimologi adalah kumpul, gabung, mengumpulkan, menggabungkan. Sedangkan definisi shalat jama’ menurut istilah syara’ adalah menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu dengan taqdim (pada waktu awal) atau takhir (pada waktu kedua atau akhir).[1]



Hukum shalat jama’

Menurut pendapat dari Empat Mazhab besar,hukum melaksanakan shalat jama’ ialah sebagai berikut:

·         Pendapat Mazhab Syafi'i

Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan menjama' shalat bagi para musafir perjalanan jauh dan dalam kondisi tertentu. Bagi mereka, pelaksanaan menjama' shalat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.

·         Pendapat Mazhab Hanafi

Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan menjama' shalat tidaklah memiliki kekuatan hukum, baik dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala macam masalah kecuali dalam dua kasus. Yaitu hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai kondisi tertentu.

·         Pendapat Mazhab Maliki

Maliki menganggap alasan untuk melaksanakan menjama' shalat bila dalam keadaan sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada akhir bulan purnama dan pada hari Arafah serta malam Muzdalifah untuk yang sedang melaksanakan haji dalam kondisi tertentu.

·         Pendapat Mazhab Hambali

Hambali memperbolehkan pelaksanaan menjama' shalat saat hari Arafah dan malam Muzdalifah dan bagi para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid berlebihan, orang yang terus-menerus buang air kecil, orang yang tidak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.

Dan diperbolehkannya melakukan shalat jama’ juga diperkuat berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas  ia berkata: “Rasulullah SAW menjama’ antara Shalat Zhuhur dengan Ashar jika dalam perjalanan, dan menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya.[2]



Macam-macam shalat jama’

Cara melakukan shalat jama’ dibagi menjadi 2 yakni :

1.      Jama’ taqdim

Jama’ Taqdim yaitu menggabungkan shalat dzuhur dengan shalat ashar yang dilakukan di waktu dzuhur atau menggabungkan shalat maghrib dan isya’ yang dilakukan di waktu maghrib.

Dari Mu’az, “ Bahwasannya Nabi saw.dalam perang tabuk, apabila beliau berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau takhir-kan dzuhur sehingga beliau kumpulkan ke ashar, beliau shalat untuk keduanya (dzuhur dan ashar), dan apabila beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, beliau kerjakan shalat dzuhur dan ashar sekaligus, kemudian beliau berjalan. Apabila beliau berangkat sebelum maghrib, beliau takhir-kan maghrib hingga beliau lakukan shalat maghrib beserta isya’, dan apabila beliau berangkat sesudah waktu maghrib, beliau segerakan isya’, dan beliau shalatkan isya’ beserta maghrib.[3]

Syarat jama’ taqdim:

·         Tertib. Apabila mufasir akan melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdim, maka dia harus mendahulukan shalat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjama’ shalat dzuhur dengan ashar, maka dia harus mengerjakan shalat dzuhur terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan adalah shalat ashar dahulu, maka shalat ashar nya tidak sah. Dan apabila ia masih mau menjama’shalat nya, maka ia harus mengulangi shalat ashar nya setelah shalat dzuhur.

·         Niat jama’ pada waktu shalat yang pertama. Apabila musafir mau melakukan shalat jama’ dengan jama’ taqdim, maka diharuskan niat jama’ pada waktu pelaksanaan shalat yang pertama, dan lebih baik niat menjama’ dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.

·         Bersegera. Antara kedua shalat tidak ada selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam menjama’ shalat terdapat selang waktu yang dianggap lama, missal seperti melakukan shalat Sunnah, maka mushali tidak dapat melakukan jama’ danharus mengakhiri shalat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.

·         Masih berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua. Apabila sebelum melaksakan shalat yang kedua ada niat muqim, maka mushal itu tidak boleh melakukan jama’, sebab udzur nya dianggap habis dan harus mengakhiri shalat yang kedua pada waktunya.



2.      Jama’ takhir

Jama‟ Takhir adalah menggabungkan antara dua shalat dengan mengerjakannya pada waktu kedua. Seperti menggabungkan shalat dzuhur dengan ashar, dan dikerjakan pada waktushalat ashar.

Syarat jama’ takhir :

·         Niat menjama’ takhir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat dzuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat dzuhur tersebut pada waktu ashar.

·         Pada saat datangnya waktu shalat kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat dzuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba dan ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jama’ takhir, shalat yang dijama’ boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat dzuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhruh dahuluatau ashar dahulu. Disamping itu antara shalat yang pertama dan kedua tidak perlu berturut-turut. Jadi boleh diselingi dengan perbuatan lain, misalnya shalat Sunnah hajat.[4]



Hukum menjama’ shalat karena ada kepentingan

Sesungguhnya, menjama’ dua sholat baik diakhirkan maupun diawalkan waktunya, telah ditetapkan keabsahannya dalam Islam. Namun demikian, menjama’ sholat diperkenankan ketika ada sebab-sebab yang membolehkannya. Adapun sebab-sebab yang membolehkan seseorang menjama’ sholatnya adalah; hari ‘Arafah di ‘Arafah, dan malam Muzdalifah di Muzdalifah; safar, dan hujan. Selain tiga sebab ini, seorang muslim tidak diperkenankan sama sekali melakukan jama’ sholat (penggabungan dua sholat).Jama’ Karena Safar. Bolehnya jama’ dalam safar telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sharih.

Imam Ahmad dan Imam Syafi’i dalam Musnadnya menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya ia berkata:

“Apakah tidak lebih baik saya kabarkan kepadamu tentang Sholat Rasulullah Saw dalam safar?” Kami menjawab, “Baik sekali.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah Nabi Saw apabila telah tergelincir matahari sedang beliau Saw masih di rumah (di tempat beliau singgah) beliau kumpulkan antara Dzuhur dan ‘Ashar sebelum beliau berangkat, dan apabila matahari telah tergelincir, waktu beliau masih di rumah, beliaupun terus berangkat hingga apabila telah datang waktu ‘Ashar, beliaupun berhenti, menjama’kan antara Dzuhur dan ‘Ashar. Dan apabila datang waktu Maghrib, sedang beliau belum berangkat, beliau mengumpulka antara Maghrib dan ‘Isya’. Apabila belum datang waktu Maghrib beliaupun terus berangkat dan pada waktu ‘Isya’ beliau berhenti lalu beliau mengumpulkan antara keduanya.”.

Imam Malik meriwayatkan dari Mu’adz, bahwasanya Nabi Saw mentaakhirkan sholat Dhuhur dan ‘Ashar (menggabungkan sholat Dhuhur dan ‘Ashar di waktu ‘Ashar), kemudian beliau masuk, kemudian beliau keluar lagi dan mengerjakan sholat Maghrib dan ‘Isya’ bersama-sama. Imam Syafi’i mengatakan, “yang dimaksud beliau masuk dan keluar lagi’ adalah, pada saat itu beliau sedang berada dalam pemberhentian.”Imam Muslim juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah Saw mengerjakan sholat Dhuhur dan ‘Ashar beriringan; Maghrib dan ‘Isya; beriringan.

Hadits-hadits ini menunjukkan dengan sharih, bahwa safar merupakan kondisi yang membolehkan jama’.

Jama’ Karena Hujan. Pada dasarnya, hujan merupakan salah satu sebab dibolehkannya seseorang menjama’ sholat. Dalam Sunannya, al-Atsram meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwasanya ia berkata, “Termasuk sunnah Nabi Saw adalah menjama’ sholat Maghrib dengan ‘Isya’, apabila hari hujan lebat.”

Imam Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat:

“Nabi Saw menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya’ di satu malam pada saat hujan lebat.”.

Para ulama telah menyepakati diperbolehkannya menjama’ sholat ketika turun hujan lebat. Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam merinci masalah ini.

Madzhab Syafi’i membolehkan seorang mukmin menjama’ sholat Dzuhur dengan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’ secara taqdim saja (jama’ taqdim); dengan syarat hujan turun tatkala ia sedang membaca takbiratul ihram dalam sholat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika ia membaca takbiratul ihram dalam sholat yang kedua.

Madzhab Malikiy berpendapat, bahwa seorang mukmin boleh menjama’ taqdim sholat Magrib dan ‘Isya’ di dalam masjid, disebabkan karena hujan telah atau akan turun. Menjama’ sholat Maghrib dan ‘Isya’ juga boleh dilakukan jika jalanan banyak lumpur dan malam sangatlah gelap hingga menyulitkan pandangan seseorang. Sedangkan, menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.

Madzhab Hanbali berpendapat, bahwa sholat Maghrib dan ‘Isya’ saja yang boleh dijama’, baik dengan jama’ taqdim maupun ta’khir, disebabkan karena hujan, salju, lumpur, udara yang sangat dingin. Menurut Madzhab Hambali, keringanan ini hanya berlaku bagi mereka yang sedang berjama’ah di masjid, dan datang dari tempat yang jauh, hingga dengan hujan tersebut perjalanannya terhalang. Bagi orang yang rumahnya dekat dengan masjid atau yang sholat berjama’ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuhnya, maka ia tidak boleh menjama’.

Jama’ Karena Berada Di ‘Arafah dan Muzdalifah. Para ulama telah bersepakat bahwa menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar di ‘Arafah dengan jama’ taqdim di waktu Dzuhur; dan antara Maghrib dan ‘Isya’, dengan jama’ ta’khir di Muzdalifah adalah sunnah. Sebab, Rasulullah Saw melakukan telah melakukan hal ini.[5]

Jama’ selain sebab-sebab di atas diharamkan secara mutlak. Memang, ada sebagian ‘ulama yang membolehkan jama’ karena hajah (keperluan, misalnya bekerja, walimah, dan lain sebagainya). Mereka menyatakan, bahwa sunnah telah menetapkan bolehnya seorang muslim menjama’ sholat bukan karena hujan, safar, maupun berada di ‘Arafah dan Muzdalifah; akan tetapi karena ada keperluan (hajat). Namun, pendapat ini lemah, dan tidak boleh diikuti.

Riwayat-riwayat yang menyatakan Nabi Saw pernah menjama’ sholat karena hajah bersumber dari shahabat Ibnu ‘Abbas ra dan Ibnu Mas’ud ra. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas dituturkan, bahwasanya Nabi Saw menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar, dan antara Maghrib dan ‘Isya’ di Madinah, bukan karena ada ketakutan, maupun hujan. Dari Ibnu Mas’ud ra diriwayatkan, bahwasanya, Nabi Saw pernah menjama’ sholat Dzuhur dan ‘Ashar, dan sholat Maghrib dengan ‘Isya’. Kemudian, para shahabat bertanya kepada beliau, mengenai hal itu. Beliau Saw menjawab, “Saya melakukan hal itu agar tidak memberatkan umatku.”

Masih banyak riwayat lain yang senada dengan riwayat-riwayat di atas. Pendapat semacam ini dipegang oleh al-Mundziri. Imam an-Nawawi mengatakan, “Sebagian ulama membolehkan jama’ karena hajah, asalkan tidak dijadikan kebiasaan.” Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Boleh jama’ bagi tukang masak, tukang roti, dan orang-orang yang takut rusak hartanya kalau ia pergi mengerjakan sholat.” Masih menurut Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, “Madzhab yang paling luas mengenai masalah jama’ ini adalah madzhab Imam Ahmad. Beliau membolehkan jama’ bagi orang yang ada pekerjaan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i.”

Sesungguhnya, pendapat yang membolehkan jama’ karena ada hajah adalah pendapat lemah dan bertentangan dengan nash-nash qath’i. Pendapat itu harus ditolak karena sebab-sebab berikut ini.

Secara dirayah, hadits-hadits yang berbicara tentang bolehnya jama’ datang dalam bentuk muthlaq tanpa ada batasan (qayyid) hujan, dan safar. Kemuthlakan riwayat-riwayat ini bertentangan dengan makna al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir yang juga datang dalam bentuk muthlaq. Dalam keadaan seperti ini, maka dalil-dalil tersebut dianggap bertentangan. Oleh karena itu, hadits-hadits yang berbicara mengenai jama’ karena hajah, harus ditolak; sebab, maknanya bertentangan dengan nash-nash mutawatir. Hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ karena hajah adalah hadits ahad yang dari sisi tsubut masih dzanniya. Jika hadits ahad bertentangan dengan dalil-dalil mutawatir, maka hadits ahad tersebut harus dikalahkan, alias ditolak dari sisi dirayah. Telah ditetapkan secara mutawatir waktu-waktu sholat, serta kewajiban menjaga waktu-waktu tersebut dalam. Tidak diperkenankan meninggalkan waktu-waktu yang diwajibkan tersebut (waqt al-maktubah) dengan jama’ taqdim ataupun jama’ ta’khir karena mengamalkan khabar ahad yang bertentangan dengan nash-nash mutawatir tersebut. Sebab, perbuatan tersebut terkategori meninggalkan yang qath’i dan beramal dengan yang dzanniy; dan ini tentu saja tidak boleh.

Tidak bisa dinyatakan, bahwa hajah (keperluan) dan ‘udzur adalah takhshish seperti halnya hujan dan safar. Tidak dinyatakan seperti itu, sebab hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ li al-hajah (jama’ karena keperluan) datang dalam bentuk muthlaq, sedangkan nash-nash mutawatir (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang berbicara tentang waktu-waktu sholat juga dalam bentuk muthlaq. Dalam keadaan semacam ini, maka kompromi yang mesti dilakukan adalah menolak hadits-hadits yang berbicara tentang jama’ li al-hajah secara dirayah.

Tidak bisa juga dinyatakan, bahwa jama’ li al-hajah boleh dilakukan kalau tidak dijadikan kebiasaan. Sebab, taqyid (batasan) semacam ini tidak tersebut di dalam hadits tersebut; dan hadits-hadits tentang jama’ li al-hajah semuanya datang dalam muthlaq tanpa ada batasan (taqyid).

Walhasil, jika seseorang melakukan jama’, baik taqdim maupun ta’khir bukan karena berada di ‘Arafah dan Muzdalifah, safar, dan hujan; karena hajah (bekerja, memasak, menggendong anak dan sebagainya) maka sholatnya tidak sah.

Berikut ini nash-nash yang mencela siapa saja yang menta’khirkan sholat, karena urusan-urusan harta, anak atau karena ada hajat (keperluan). Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh harta-hartamu dan oleh anak-anakmu dari menyebut Allah. Barangsiap aberlaku demikian, maka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqûn [63]: 63).

“Maka mereka tinggalkan di belakang mereka suatu keturunan yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti syahwat; mereka kelak akan menjumpai malapetaka.” (Qs. Maryam [19]: 59).

Menurut Ibnu Mas’ud ra, makna ayat ini adalah, “Menta’khirkan sholat dari waktunya, seperti mengerjakan Dzuhur setelah tiba waktu ‘Ashar, mengerjakan ‘Ashar setelah tiba waktu Maghrib. Jika seperti itu, maka orang tersebut kelak akan masuk ke dalam ‘ghaiy’, suatu tali yang terjulur di dalam neraka Jahannam.”

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Qs. Al-Ma’un [107]: 4-5).

Banyak hadits juga menerangkan celaan bagi orang-orang yang melalaikan, dan sembrono dalam sholatnya. Imam ath-Thabarani menuturkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila seorang hamba mengerjakan sholat bukan pada waktunya, naiklah ia lengit sebagai benda yang hitam pekat. Apabila ia telah sampai ke langit, dilipatlah sholat itu sebagaimana dilipatnya kain buruk dan kelak akan dipukulkan ke muka orang yang mengerjakannya.”.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits:

“Akan datang kepada manusia (ummat Muhammad Saw) suatu masa, dimana di dalam masa itu banyaklah orang yang merasa dirinya mengerjakan sholat, padahal sebenarnya ia tidak sedang mengerjakan sholat.”.

Masih banyak lagi hadits-hadits muthlaq, yang mencela siapa saja yang menyia-nyiakan sholatnya, mengerjakan sholat tidak pada waktunya, atau menjama’ sholat bukan karena alasan-alasan yang disyariatkan oleh Islam. Walhasil, jika kita menerima hadits-hadits tentang bolehnya jama’ karena hajah, sungguh akan berakibat pada ditolaknya nash-nash yang telah mutawatir (qath’i). Oleh karena itu, matan hadits yang berbicara tentang jama’ li al-hajah wajib ditolak, untuk menyelamatkan khabar dari pertentangan.[6]

Menurut penjelasan diatas syaikh sayis, menjama’ shalat karena hajat diperbolehkan karena ia juga memakai hadist fari ibnu abbas bahwa Nabi saw, shalat di Madinah delapan rakaat dan tujuh rakaat, yaitu dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’.

Dan menurut lafadz riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan ibnu majah: “Beliau menjamak antara dzuhur dan ashar, antara maghrib dan isya’ di Madinah tanpa ketakutan dan tanpa hujan. Orang  bertanya kepada Ibnu Abbas: apakah yang beliau maksudkan dengan itu ?” Ibnu Abbas menjawab : “beliau bermaksud untuk tidak menyukarkan kepada umatnya.”[7]

Menurut Fathul Bari hadist yang menjadi dalil ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nas’i dari jalan Amer bin Harun dari Abi Sya’sa’ bahwa Ibnu Abbas di Bashrah pernah shalat dzuhur dan ashar tanpa berselang, ini dilakukan karena ada kesibukan. Pada hadist itu ada Rafa’ kepada Nabi saw dan kesibukan Ibnu Abbas saat itu adalah berpidato.[8]

Diperbolehkan bagi seorang yang mukim untuk menjama’ shalat karena adanya suatu kebutuhan yang datang tiba-tiba dan mendesak, dengan syarat tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; ”Rasulullah SAW menjama’ antara dzuhur dan ashar di Madinah, padahal beliau tidak berada dalam keadaan takut dan tidak pula sedang safar.” Abu Zubair bertanya kepada Sa’id, “Untuk apa beliau melakukan hal itu?” Sa’id menjawab, “Aku telah menanyakan kepada Ibnu, Abbas sebagaimana pertanyaanmu kepadaku. Maka Ibnu ‘Abbas menjawab, ”Agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya.”[9]

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, ”Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat dzuhur dan ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu abbas mengapa rasulullah SAW melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu abbas, ”Apa yang Nabi SAW inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.”[10]

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan mengenai, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu mereka mengalami kesulitan, misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh jauh sekali dari tempat shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk bersuci,  maka nanti akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya mereka jalanin. Dalam kondisi semacam ini, mereka boleh menjama’ shalat. Lebih baik mereka mengerjakan shalat dzuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ashar. Nantinya mereka menjama’ shalat dhuhur dan ashar, shalat Zhuhur dijama’ dengan dikerjakan di akhir waktu, sedangkan shalat asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih utama.[11]

Imam Nawawi menyetujui hadist yang, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[12]

Bagaimana menjama shalat ketika dalam perjalanan. misalnya ana sedang safar dari sebelum dzuhur,lalu tiba di tempat tujuan pada waktu maghrib/isya. dan saat perjalanan tidak memungkinkan untuk berhenti ketika tiba waktu shalat.Apakah dzuhur dan ashar ana kerjakan pada waktu maghrib/isya? atau bagaimana?

Memang tidak memungkinkan turun dari kendaraan sama sekali? Jika memang terpaksa tidak bisa turun dan melaksanakan shalat misalkan dalam pesawat maka boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk. Meski sebenarnya kalau di pesawat, kita bisa mencari tempat yg agak dipojok yang sebenarnya cukup untuk dipakai solat berdiri.
Jadi solusinya..klau memang tidak memungkinkan turun atau tidak memungkinkan solat berdiri,maka lakukanlah solat dengan duduk di atas kursi kendaraan[13]

Bolehkah saya memakai hadits shohih muslim, juz 1 no. 1146, 1147 dan 1151 pada saat-saat saya sibuk atau yang saya perkirakan bakalan sibuk nantinya sehingga saya lakukan sholat jama' tersebut?

Memang benar bahwa ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan shalat jama’ di Madinah, bukan karena safar, takut atau hujan. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim yang teksnya sebagai berikut : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW menjama' Shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” Dari segi sanad hadits itu memang shahih. Tetapi yang jadi masalah adalah dari segi istidlal atau cara menarik kesimpulannya dari segi hukum. Sebagaimana kita tahu, bahwa keshahihan hadits adalah satu hal dan cara menarik kesimpulan hukum adalah hal yang lain. kalau hadits di atas disimpulkan secara serampangan bahwa kapan saja kita boleh meninggalkan shalat, toh cuma  tinggal dijamak saja, maka kesimpulan ini tentu keliru, sesat dan menyesatkan. Masak cuma gara-gara sibuk, rapat, meeting, atau alasan-alasan sederhana, lalu kita merasa boleh meninggalkan shalat atau menjamaknya, dengan alasan Rasulullah SAW menjamak shalat tanpa sebab? Kenapa keliru dan sesat? Ada beberapa alasan yang menyebabkan kita menyebut pemahaman ini sesat dan menyesatkan. Alasan-alasan itu antara lain adalah :

Alasan Pertama

ciri yang mudah dikenali terkait perbedaan orang beriman dan orang munafik adalah malas mengerjakan shalat. Orang munafik itu bukan orang kafir yang memang benar-benar tidak mengerjakan shalat. Orang munafik itu kalau mengerjakan shalat, maka dikerjakanlah shalat itu dengan malas, ogah-ogahan dan menundanya hingga lewat waktunya. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :



Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasulnya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas dan tidak  menafkahkan  mereka, melainkan dengan rasa enggan.(QS. At-TAubah : 54)

Alasan Kedua

Shalat lima waktu juga membedakan antara seorang muslim dengan orang yang kafir. Shalat lima waktu juga merupakan bagian dari rukun Islam.  Perbedaan shalat lima waktu dengan shalat-shalat lainnya adalah bahwa shalat lima waktu adalah ibadah yang sudah ditetapkan waktunya dan pelaksanaannya amat ketat. shalat lima waktu berbeda dengan shalat sunnah, yang boleh dikerjakan seenaknya. Kalau lagi sibuk, shalat sunnah boleh digeser-geser pelaksanannya. Bahkan tidak shalat sunnah pun tidak mengapa, karena hukumnya sunnah. Kalau pun shalat lima waktu mau digeser-geser jadwal pelaksanaannya, memang dibenarkan tetapi dengan alasan yang ketat dan harus dengan dalil yang shahih.  Dan dan orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur yang betul-betul syar'i dan didasarkan pada dalil-dalil yang qath'i, bukan hanya sekedar berdosa besar, bahkan sebagian ulama menghukumi kafir.

Alasan Ketiga

Safar, takut dan hujan adalah sebab-sebab dibolehkannya meninggalkan shalat pada waktunya dan melakukannya dengan menjamaknya.  Sebab-sebab ini secara syar'i memang disebutkan secara ekpisit dan didasari oleh hadits yang shahih. Sedangkan rapat dan kesibukan lainnya seperti yang anda sebutkan di atas, sama sekali tidak pernah disebutkan secara eksplisit di dalam hadits yang shahih. Oleh karena itu tidak benar bahwa sekedar alasan rapat kita jadi dibolehkan menjamak shalat. Kalau memang demikian, siapa saja nanti akan merasa berhak mencari-cari alasan pribadi untuk bisa meninggalkan shalat. pada waktunya dan menggantinya dengan jamak. Cuma karena main bola lalu shalat dijamak. Cuma karena kondangan dan pesta resepsi, lalu shalat dijamak. Cuma karena macet lalu shalat dijamak.  Kalau begitu, tiap hari kita bisa asal main jamak-jamak terus, karena berdalih bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak bukan karena safar, hujan atau takut. Dan logika ini tentu keliru dan menyesatkan sekali.

Alasan Keempat

Tentu ini pemahaman ini keliru sehingga perlu diluruskan. Cara menarik kesimpulannya juga tidak benar, karena hadits di atas tidak menyebutkan alasan meeting, rapat, sibuk bisnis, resepsi, macet dan sejenisnya sebagai hal yang membolehkan kita menjamak shalat. Tidak ada satupun dari alasan-alasan di atas yang disebutkan secara eksplisit. Maka kalau disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat bukan karena alasan safar, takut atau hujan, tidak berarti lantas kita boleh menambahi sendiri daftar udzur atau alasan sesuai dengan selera kita. Kalau cara demikian, maka yang kita lakukan sama saja dengan mengisi sendiri cek kosong dengan sekehendak hati kita. Hadits di atas hanya menyebutkan bahwa bukan hanya safar, takut dan hujan saja yang bisa dijadikan alasan, ada peluang alasan lainnya. Tetapi alasan itu apa dan bagaimana? Tentu tidak seenak kita bikin-bikin sendiri alasan itu.

Daftar Penyebab Dibolehkannya Jamak

Cara ulama dalam banyak kita mereka telah merumuskan beberapa penyebab dibolehkannya shalat jama',antara lain : Safar, Haji, Sakit, Hujan, Kejadian luar biasa namun shalat jama' karena terjadi di luar hal-hal yang tidak mampu diantisipasi tidak boleh dilakukan kecuali dengan syarat

a.      Terjadi Secara Insidental

Seseorang tidak boleh merencanakan untuk menjama' shalat dengan alasan terjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali dengan menjama', namun dilakukannya secara terencana. Kejadiannya harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala terlewat dari shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang Khandaq). Beliau saat itu menjama' shalat yang tertinggal setelah lewat tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para shahabat bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah. Namun kejadian itu boleh dibilang hanya sesekali saja, bukan sesuatu yang bersifat rutin. Dan tentu saja tidak pernah direncanakan terlebih dahulu.

b.      Kejadiannya Bersifat Memaksa

Syarat kedua adalah bersifat memaksa, yang tidak ada alternatif lain kecuali harus menjama'. Sifat memaksa disini bukan disebabkan karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta pernikahan, atau kemacetan rutin yang melanda kota-kota besar.

Sebab rapat itu hanya buatan manusia, demikian juga pesta pernikahan atau kemacetan rutin. Semua tidak termasuk hal yang bersifat memaksa yang membolehkan orang menjama' shalat.

Yang bisa dikategorikan memaksa misalnya kejadian force majeure, yang dalam Bahasa Indonesia sebagian orang mengartikannya sebagai kejadian luar biasa (KLB). termasuk di dalamnya adalah kejadian–kejadian seperti perang, demo anarkis, huru-hara, bencana alam, kecelakaan, banjir bandang, topan badai dan sejenisnya.

Demonstrasi atau unjuk raja yang tertib dan dilakukan beberapa gelintir orang secara yang damai, bukan termasuk force majeure. Demikian juga banjir dan air menggenang yang sudah jadi langganan penduduk ibukota, tidak termasuk di dalamnya.

Tsunami di Aceh dan Mentawai, banjir bandang di Wasior Papua, gampa di Padang dan Yogya, erupsi Gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah, serta terjebak di tengah kerusuhan massal tahun 1998 adalah contoh-contoh yang bisa dijadikan bahan perbandingan dari force majeur.[14]

Hukum terakhir dari kasus-kasus diatas yaitu jika hampir setiap jumat ada seseorang pulang kampung setelah sholat jumat di kantor. pertanyaan ialah bolehkah sholat ashar orang itu melakukan shalat jama’ setelah sholat jumat karena pasti tidak keburu untuk dikerjakan di rumah ? jawabannya ialah Seseorang dibolehkan menjamak sholat Jum'at dengan 'Ashar jika memang dia dalam perjalanan, dengan syarat bahwa sholat Jum'atnya dikerjakan setelah waktu Dzuhur masuk. Adapun caranya adalah setelah selesai sholat Jum'at bersama imam, maka dia berdiri mengumandangkan iqamah dan dilanjutkan dengan sholat 'Ashar dua reka'at.[15]

Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas. Allah SWT berfirman:

“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.” Dan hadist dari Ibnu Abbas ra juga mengatakan bahwa, “beliau SAW tidak ingin memberatkan ummatnya.” Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW pernah menjama` dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah mengatakan, ”Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[16]



[1] Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis, Malang : UIN-Maliki Press, 2011, hlm. 95
[2] HR. Bukhari Juz 1 : 1056
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004, hlm. 121
[4] Diakses dari http://www.masuk-islam.com/penjelasan-lengkap-mengenai-sholat-jamak.html
[5] Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Daar al-Nahdlah al-Islaamiyyah, ed. I, 1991; hlm. 90
[6] Syamsuddin Ramadhan Konsultasi Syariah dikutip dari https://web.facebook.com/konsultasisyariahbengkulu/posts/465957276803642?_rdr
[7] Syaltut Mahmud, Syaikh As-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, 1989, hlm. 87
[8] Syaltut Mahmud, Ali As-Sayis,Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, hlm. 56
[9]  HR. Abu Dawud : 1210
[10] HR. Muslim no. 705
[11] Majmu’ Al Fatawa, 21/458
[12] Imam Nawawi Syarah Muslim,V/215
[13] Herman Budianto Rekapan materi fiqih 3 dikutip dari http://rumahdakwah-indonesia.blogspot.co.id/2015/04/fiqih-shalat-jama-dan-qashar.html
[14] Ahmad  Sarwat, Konsultasi seputar jama’ dan qashar dikutip dari http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1362763331
[15] http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/234/sholat-jama-dan-qashar/
[16] Al-Imam An-Nawawi Syarah An-Nawawi jilid 5 hlm: 219 dikutip dari http://beritaislamimasakini.com/hukum-menjama-shalat-di-kantor-dan-ketiduran.htm

No comments:

Post a Comment